oleh : Dimas Satrio Aji Pamungkas
![]() |
Massa menduduki gedung DPR/MPR |
Gerakan reformasi, yang dipicu oleh demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia, mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998, ketika Soeharto, yang wajahnya tercabik oleh krisis ekonomi dan politik, akhirnya mundur dari jabatannya. Kejatuhan Soeharto bukan sekadar pergantian kepemimpinan, tetapi juga merupakan simbol kemenangan rakyat yang mendambakan kebebasan, keadilan dan harapan akan masa depan yang lebih cerah. Reformasi 1998 menandai dimulainya perjalanan panjang menuju demokrasi yang lebih terbuka, meski penuh dengan tantangan dan ketidakpastian.
![]() |
Reformasi 1998 (foto net) |
Pemerintahan Soeharto yang berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun, dari 1967 hingga 1998, ditandai dengan pemerintahan yang sangat otoriter, yang membatasi kebebasan politik dan sosial. Di bawah kekuasaannya, kontrol terhadap media dan oposisi politik sangat ketat, dengan pemerintah membatasi kebebasan pers dan hak asasi manusia. Media yang dianggap kritis sering menghadapi pembredelan atau pembatasan. Sebagai contoh, pada 1978, sejumlah surat kabar seperti Majalah Tempo, Harian Kompas dan Sinar Harapan mendapat ancaman keras karena dianggap mengganggu stabilitas politik dan ketertiban umum.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto dikenal dengan penerapan sistem politik yang membatasi kebebasan berpendapat dan partisipasi politik. Hanya ada tiga partai yang diperbolehkan beroperasi : Golkar, PPP dan PDI, yang mengurangi keragaman politik dan membatasi pilihan bagi rakyat.
Pemilu yang diadakan selama era Orde Baru sering kali dianggap tidak adil dan hanya sebagai simbol demokrasi. Proses pemilihan umum dikendalikan dengan ketat oleh pemerintah, di mana kandidat yang dianggap sebagai oposisi sering kali dihalangi atau dibatasi ruang geraknya. Hal ini menjadikan pemilu tidak mencerminkan kehendak rakyat secara bebas.
Adanya program “Penembakan Misterius” (petrus) demi terciptanya keamanan. Ketika ada seseorang yang menghina Soeharto/ketika ada sesorang yang berbeda pendapat dengan Soeharto, malamnya orang itu akan diculik/ditembak secara misterius (Nurmalaningrum, R. W. 2018). Aktivis yang berani mengritik pemerintah sering kali menghadapi penangkapan dan penahanan. Penindasan terhadap para penentang pemerintah ini menghilangkan hak dasar warga negara untuk terlibat secara aktif dalam proses politik. Kondisi ini menciptakan suasana politik yang represif, di mana kebebasan berpendapat dan partisipasi politik dibatasi, serta pemilu tidak mencerminkan pilihan rakyat dengan jujur dan bebas. Pembatasan kebebasan pers dan penangkapan aktivis politik semakin memperburuk situasi, mengurangi ruang untuk demokrasi yang sejati.
Di sektor ekonomi, Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat selama era Orde Baru, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata sekira 7% setiap tahunnya pada 1970-an hingga 1980-an. Namun, pertumbuhan ini tidak merata dan sering kali diiringi dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang melibatkan pejabat pemerintah dan keluarga Soeharto. Ketidakpuasan masyarakat terhadap ketidakadilan sosial dan ekonomi semakin memuncak menjelang akhir 1990-an, apalagi dengan terjadinya krisis moneter Asia pada 1997 yang mengakibatkan inflasi tinggi, penurunan tajam nilai tukar Rupiah, dan banyak perusahaan yang bangkrut. Dampak dari krisis ini semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi, yang pada gilirannya menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memicu gelombang protes besar yang akhirnyamenjadi cikal bakal Reformasi 1998.
Krisis moneter Asia 1997 membawa dampak yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia, dengan lonjakan inflasi, anjloknya nilai tukar Rupiah, dan banyaknya perusahaan yang terpaksa gulung tikar. Beberapa faktor utama yang menyebabkan krisis ini meliputi utang luar negeri yang terlalu besar, spekulasi terhadap mata uang, kelemahan dalam struktur ekonomi dan ketidakstabilan politik. Banyak perusahaan dan lembaga keuangan di Indonesia memiliki utang yang didominasi dalam dolar AS. Ketika nilai tukar Rupiah jatuh, utang tersebut menjadi jauh lebih mahal dalam Rupiah, yang menyebabkan banyak perusahaan kesulitan untuk membayar dan akhirnya bangkrut.
Selain itu, terjadi serangan spekulatif besar-besaran terhadap mata uang di kawasan Asia, termasuk Rupiah. Para spekulan menjual Rupiah dalam jumlah besar karena memperkirakan nilai tukar Rupiah akan terus menurun, yang memperburuk penurunan mata uang tersebut.
Kelemahan mendasar dalam perekonomian Indonesia, seperti defisit transaksi berjalan yang besar dan ketergantungan pada investasi asing yang dapat dengan mudah pindah, juga memperburuk kondisi. Ketidakstabilan politik, terutama mengenai kelanjutan kepemimpinan Soeharto, semakin mengurangi kepercayaan investor, yang pada akhirnya memperburuk krisis.
Rakyat Indonesia merasakan dampak langsung dari krisis ini, dengan lonjakan harga barang-barang pokok dan peningkatan jumlah pengangguran akibat banyaknya perusahaan yang bangkrut. Ketidakpuasan terhadap pemerintah semakin meningkat karena dianggap gagal mengatasi krisis dan memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Ketidakpercayaan publik semakin memuncak, yang memicu gelombang protes besar-besaran yang akhirnya berujung pada Reformasi 1998.
Gerakan mahasiswa ini lahir sebagi gerakan sosial yang menuntut reformasi dalam tatanan pemerintahan Orde Baru. Di mana salah satu tuntutan yang digaungkan saat itu adalah keharusan Presiden Soeharto turun dari kursi jabatannya sebagai Presiden. Adapun proses gerakan yang terjadi saat itu diawali dengan aksi demonstrasi turun ke jalan yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai kampus dan pihak masyarakat. Aksi demonstrasi semakin kuat hingga mampu menduduki gedung DPR/MPR pasca terjadinya tragedi penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti tiga hari sebelumnya. (Hermawan,A. 2020)
Menjelang Reformasi 1998, ketidakpuasan yang mendalam mulai meluas di kalangan masyarakat, khususnya di kalangan urban dan kelas menengah. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan inflasi yang melambung tinggi, penurunan daya beli masyarakat serta kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi tersebut mendorong protes terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak responsif terhadap penderitaan rakyat.
Mahasiswa menjadi motor penggerak utama dan menjadi titik penting dalam gerakan reformasi. Terorganisir melalui berbagai kampus besar di Indonesia, mereka menuntut perubahan dengan mengangkat isu-isu besar seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), dan perbaikan sistem politik yang sudah carut-marut. Aksi-aksi mereka tidak hanya terbatas pada kampus, namun juga meluas ke jalanan, menggerakkan massa yang semakin besar dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat.
Puncak dari gerakan mahasiswa terjadi pada Mei 1998, saat ribuan mahasiswa melakukan demonstrasi besar di Jakarta. Pada 19 Mei 1998, mereka menduduki gedung DPR/MPR dan menuntut Presiden Soeharto untuk mundur. Mereka membawa spanduk panjang yang menyuarakan tuntutan agar Soeharto segera mengundurkan diri. Meskipun sempat ada ketegangan dengan kelompok pendukung pemerintah, aksi ini berlangsung relatif damai dan negosiasi berhasil meredakan ketegangan tersebut.
Selain itu, menjelang Reformasi 1998, tekanan internasional terhadap Presiden Soeharto semakin kuat. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, mulai mendesak agar Soeharto mengundurkan diri. Bahkan, Presiden AS Bill Clinton, secara langsung menghubungi Soeharto dan meminta agar ia mengikuti saran dari International Moneter Fund (IMF) terkait reformasi ekonomi yang diperlukan.
Di dalam negeri, oposisi politik mulai tumbuh, termasuk dari kalangan mereka yang sebelumnya mendukung Soeharto. Tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Megawati Soekarno Putri dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mulai mengritik kebijakan pemerintah dan mengambil sikap berbeda, menyerukan perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan.
Pemerintah mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan akibat ketidakmampuannya mengatasi demonstrasi besar dan ketegangan sosial yang semakin memburuk. Diskusi tentang pengunduran diri Soeharto mulai terdengar di kalangan pejabat tinggi dan sejumlah keputusan penting menggambarkan ketegangan internal dalam pemerintahan. Tekanan dari berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun internasional, semakin memperburuk situasi politik yang sudah tidak stabil.
Pada 21 Mei 1998, setelah mendapat tekanan yang terus meningkatdari dalam negeri dan komunitas internasional, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri, mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Langkah ini mengakhiri era otoritarian dan membuka kesempatan bagi perubahan besar di Indonesia. Namun, meskipun Soeharto mundur, transisi menuju demokrasi yang sejati tidak terjadi dengan mudah, dan banyak tantangan yang tetap harus dihadapi negara ini.
Reaksi masyarakat terhadap pengunduran diri Soeharto sangat bervariasi. Sementara banyak yang merayakan dengan penuh kegembiraan, ada juga ketakutan tentang masa depan yang penuh ketidakpastian pasca Soeharto. Proses transisi menuju demokrasi dimulai dengan berbagai langkah reformasi, tetapi tetap ada tantangan besar, seperti ketidakstabilan politik dan masalah ekonomi yang belum sepenuhnya teratasi.
Penilaian terhadap gerakan Reformasi 1998 menunjukkan bahwa meskipun berhasil menggulingkan Soeharto, banyak masalah struktural yang masih menghambat kemajuan Indonesia. Korupsi, ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi tetap menjadi tantangan besar yang harus diselesaikan. Meskipun reformasi politik membuka jalan bagi demokrasi yang lebih inklusif, kesulitan dan ketidakpastian yang ada menunjukkan bahwa perubahan yang sesungguhnya masih memerlukan waktu dan upaya yang lebih banyak.
Reformasi
1998 memiliki peran penting dalam mengubah wajah politik Indonesia. Gerakan ini
berhasil membuka jalan bagi demokrasi yang lebih terbuka, meskipun perjalanan menuju
perbaikan masihpanjang. Menjaga warisan reformasi ini sangat penting, dengan terus
berusaha meningkatkan kualitas demokrasi, kesejahteraan rakyat, serta menyelesaikan
masalah struktural yang masih ada. Dengan melanjutkan semangat reformasi,
Indonesia dapat menuju masa depan yang lebih baik dan lebih adil. (*)
DAFTAR PUSTAKA
Fitria, N. D. (2024). Kritik Muchtar Lubis terhadap politik Orde Lama dan Orde Baru (1950-1978). https://digilib.uinsgd.ac.id/id/eprint/89890
Nurmalaningrum, R. W., &Dewantara, A. (2018, December 11). PERISTIWA MUNDURNYA SOEHARTO DARI JABATAN PRESIDEN INDONESIA. https://doi.org/10.31227/osf.io/gvxzs
Harthanti, D., &Nuryana, N. (2018). Pengaruh IMF (International Monetary Fund) dalam pengambilan kebijakan ekonomi-politik Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru (1967-1974). Historis: JurnalIlmiah Sejarah, 3(1). https://doi.org/10.31764/historis.v3i1.1379
Hermawan, A. (2018). Gerakan mahasiswa menuju reformasi 1998. https://digilib.uinsgd.ac.id/id/eprint/34502
Puspita, K. T. (2025). Sejarah pemberedelan media dan ketatnya kontrol pemerintah Soeharto pada 1978. https://koropak.co.id/49557/sejarah-pemberedelan-media-dan-ketatnya-kontrol-pemerintah-soeharto-pada-1978?
Idris, M. (2024). 6 penyebab utama krisis moneter tahun 1997 di Indonesia. Kompas Money. https://money.kompas.com/read/2024/08/16/090107826/6-penyebab-utama-krisis-moneter-tahun-1997-di-indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar